Masih di Arus Bawah

Arus bawah #2

Oleh : Kyand Cavalera*

            Suasana ini hari terik memang, tapi paling sebentar lagi hujan. Memang cuaca saat ini tak bisa diramal seperti masa lalu. Jikalau dahulu setiap enam bulan sekali panas, maka berikutnya pasti hujan. Tak pernah telat dan benar pasti. Sehingga nenek moyangku membikin hitungan cuaca yang dinamai Pranata Mangsa. Sehingga pula dijadikan patokan masa hidup buat bercocok tanam. Namun itu semua teraji dahulu kala sekarang penanggalan itu jadi usang tak

terpakai lagi. Sebab masa atau waktu bumi telah berubah, bertambah tua. Bertambah rusak.

Sekarang semua–mua telah laku jadi barang dagangan. Apapun laku dijual. Mulai yang dari alam, hingga pikiran dan manusia itu sendiripun laku dijual. Berapa harganya tentulah bersaing antara penjual satu dengan lainnya. Itulah hukum pedagang. Pedagang akan selalu cari untung, meski yang dijual lumpuh dan buntung. Meski yang dijual manusia
juga. Pedagang akan selalu cari cara, biar si manusia yang dijual tidak merasa dijual belikan. Aku juga salah satu dari manusia yang diperjual belikan itu. Namaku Budi. Yang saban harinya bekerja juga kuliah. Bekerjaku buat kuliah. Kuliahku buat bekerja juga nantinya.

Tak ada pilihan yang tanpa resiko. Bahkan buat sekolah saja aku harus berjuang mencari biayanya sendiri. Maklumlah keluargaku adalah miskin, kere. Tak apalah. Toh, orang miskin juga punya hak buat sekolah.

Aku bekerja di sebuah toko buku yang satu – satunya besar di kota ini. Menjadi pelayan adalah salah satu bagian dari tugasku selain mengepel, menyapu, mengatur buku, membuka dan menutup toko. Dan kurasa tak pernah ada alasan buat menyukai pekerjaan jadi pelayan. Dimanapun dan siapapun orangnya, pastilah memilih jadi tuan atau juragan. Semuanya ingin dilayani bak raja atau dewa. Tapi karena aku suka buku dan jenis – jenis manusia aku menerima diriku jadi pelayan. Setidaknya ada untung buat otakku agar tak berhenti membaca. Daripada aku melacurkan otakku atau tenagaku atau diam.

“ Ada yang bisa dibantu bapak atau ibu “ kalimat yang sering keluar dari mulutku buat menyambut pengunjung toko. Maklumlah Pembeli adalah raja masih jadi landasan. Sepah memang, tapi untuk menyenangkan hati orang lain khususnya pemilik toko. Harus pula menjaga agar senyum selalu tersungging di wajahnya, dan pantang kalau yang bertengger adalah mimik mulut manyun. Dan sekali lagi aku bekerja buat menyenangkan hati orang lain.

 

Biarlah.

            Dulu aku tak pernah tahu perasaan jadi tukang melayani orang, aku hanya bisa mencela kerja pelayan di sebuah kafe bila ia melakukan kesalahan. Sekarang aku baru tahu dalam hatinya pastilah kesal serta mendongkol saat melayani aku yang ingin dilayani bak raja diraja. Aku sekarang tahu perasaan jadi pelayan saat sang raja tak menganggap perlakuan agung sang pelayan. Sakit tapi apa yang bisa diperbuat. Hanya senyuman kecut yang memampang.

 

Sudah pukul delapan malam menjelang akhir dari toko ini, tutup maksudnya. Hanya ada beberapa pengunjung saja. Dimana – mana di Indonesia yang aku tahu penikmat buku hanya beberapa prosen saja jumlahnya, sisanya penikmat lainnya. Makanya toko buku di penjuru Nusantara ini tak pernah ramai oleh pengunjung. Itupun ditambah pula dengan harga sebuah buku yang kadang memeras kantong bagi yang kantongnya pas – pasan seperti aku. Lantas budaya membaca yang sudah dihilangkan dari bumi manusia Nusantara ini. Apa diluar seperti itu pula.

 

Entahlah.

            Lampu sentrong sepeda motor terlihat berhenti diparkiran. Seorang bapak, ibu dan anak perempuan dan laki turun. Dan si bapak berbicara dengan perintah yang tak kedengaran jelas buatku. Mereka berjalan masuk dan seperti biasa kusambut dengan senyuman. Selamat malam bapak, ada yang bisa dibantu ?.

“ Buku untuk anak – anak sebelah mana mas ? “ si bapak bertanya. Kupersilahkan dan kuarahkan mereka pada tempat yang dimaksud. Alangkah bahagianya bocah itu, sumringah tampak diwajahnya. Aku jadi teringat masa kecilku yang tak begitu. Ah, kenangan lalu selalu muncul dan berlalu.

Si bapak dan ibunya punya hajat sendiri rupanya, tak hanya mengantarkan buah hati mereka. Dibiarkannya anak mereka mencari apa yang mereka kehendaki. Dan berlalu melihat – lihat ruangan lain.

Agama, hobi, hukum, psikologi, mereka lewati dan hanya melihat sedikit. Dan berhenti mereka di ruang buku – buku kesehatan. Melihat dan mendapatkan judul sepertinya, BUILT For SEX mereka ambil. Lalu tawa renyah dari sang istri pun keluar. He, mirip lagunya Iwan Fals meski tanpa dipantai.

Terbiarkan kemesraan mereka sesaat lalu diganggu dua anaknya yang lucu. Hilanglah sudah kemesraan ini. “ Ma, ini boleh? “ Tanya si anak perawan dengan nada sedikit memohon. Menggeleng. “ Kembalikan, yang lain saja “ jawab sang bapak. Dengan muka manyun si gadis kecil kembali mencari bukunya. “ Jangan yang ini, ini bacaannya kakak – kakak lainnya saja “. Kata-kata itu lagi yang keluar. Putar balik dan pergi sesaat. Lalu kembalilah dia si gadis kecil tanpa membawa apa – apa. Si bapak tak memperhatikan.

Masih manyun dan mengarahkan pandangan ke segala arah di ruangan buku psikologi dan dia mengambil buku yang terdekat. Ditunjukannya kesal pada sang bapak. Baru kuketahui judul buku itu MASTURBASI. Si bapak melongo dan berkata “ apa ini, masturbasi kembalikan saja “ lagi dia mengucapkannya. Dan si gadis kecil hanya mendapatkan buku cerita dongeng. Tak boleh baca sembarangan untuk si anak, nanti si anak banyak bertanya dan si bapak tak tahu jawabnya mungkin. Atau dengan mengarahkan si anak bisa menjadikan dia seperti apa yang diinginkan bapaknya, bukan keinginan si anak. Atau takut si anak jadi tersesat karena buku bacaan. Atau aku yang terlalu mengurusi orang lain.

Sekeluarga itu telah pergi, mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Dan aku masih teringat si anak tadi. Tak terasa sudah waktunya toko tutup. Tapi pengunjung kafe belakang masih belum pada pergi. Memang kurasa letak toko ini salah sebab sejalan dengan kafe yang berada di belakang toko. Jalan masuk pun hanya sebuah saja. Jalan ini adalah akses satu – satunya untuk bisa pengunjung kafe masuk dan keluar. Jadilah kami menutup separoh toko dan menunggu pengunjung kafe habis dari tempatnya. Dalam masa menunggu itu aku dan teman lainnya hanya bisa menunggu dengan hati dongkol. Kadang makian jadi bumbu tambahan.

Penantian kami membuahkan hasil. Pengunjung kafe telah habis. Menutup toko lalu pulang. Meski tak tahu apa yang terjadi esok kami tetap pulang. Percuma meraba esok, melaluinya adalah jawabnya.

 

*Pengurus Perpustakaan Bersama dan Mahasiswa Univ. Muhammadiyah Gresik.

Leave a comment