Si fulan, mantan pemanjat tebing yang kelingkingnya kusimpan dalam botol selai itu, kini telah menjadi langgananku di Bandung. Ia terpaksa pensiun karena menikah dan harus menghidupi istri-anak. Kini ia membangun kalsium keluarga dari hasil berjualan alat-alat olah raga petualangan dan handphone. Memang apa arti suami selain menjadi tulang punggung istri-anak? Kubilang istri-anak, bukan anak-istri sebab perempuanlah yang datang lebih dulu, baru anak. Pacar adalah jebakan pertama. Mereka kita pacari, lalu mereka minta dinikahi. Setelah itu mereka mengeluarkan anak. Mereka bilang bahwa mereka ingin bulan madu satu dua tahun tanpa anak.
Tapi sesungguhnya, mereka berada dalam kekuasaan makhluk ubur-ubur berbentuk buah pir dengan dua tangan-tangan tipis melambai yang semayam di perut mereka. Makhluk ini bernama monster ubur-ubur atau monster gelembung. Monster inilah kawan, yang menciptakan kita semua. Kata-kata manis perempuan pada kita, kemanjaan-kemanjaan kecil yang imut, kerdipan mata dan lenguhan mereka yang maut itu sesungguhnya hanyalah pemenuhan perintah dari sang monster. Mereka sendiri tak sadar itu. Monster ubur-ubur itu berdenyut dan haus untuk menggelembungkan diri. Tampaknya, kenikmatan si monster adalah menggelembungkan diri. Untuk menggelembungkan diri, si monster membutuhkan sedikit saja makanan pemicu, yaitu kecebong sperma kita!

Dan celakanya, monster ubur-ubur itu tahu. Ia sangat pintar, si ubur gelembung ini tahu tabiat si hewan moluska yang secara periodic terserang rabies internal. Maka ia membangun sebuah liang jebakan yang berakhir di mulutnya! Liang itu dibuatnya sedemikian rupa. Hangat, basah, lembut sekaligus kuat, sehingga si moluska anjing gila bisa membentur-benturkan kepala tanpa terluka. Tentu saja memar akan tetap terjadi dan membekas setelah ribuan kali, tapi ini tak berarti apa-apa dibanding kelegaan yang diperolah si hewan : anjing gila itu bisa kembali menjadi moluska.
Dan perempuan pun (hmm, betapa indah torso dan buah dada mereka), sebagai boneka dari si monster gelembung, dimanipulasi untuk membutuhkan pria. Mereka membutuhkan kita sebab mereka membutuhkan makanan pemicu – setetes otak kempal – bagi sang monster agar mahkluk itu bisa mulai menggelembung. Lalu mereka membutuhkan logistik sebab monster itu tak terbendung lagi : ia menggelembungkan diri dengan cara yang mengerikan, yaitu makan dari tulang, rambut, dan kuku si perempuan. Apa yang dilakukan monster itu sesungguhnya? Dia sedang menguleni boneka baru! Dia sedang membuat mainan. Dan setelah sekitar sembilan bulan, boneka itupun menjadi apa yang kita sebut sebagai bayi.
Ahh… ya kita bangga bahwa kita dibutuhkan perempuan. Kita bangga ketika boneka itu lahir. Kita mengiranya anak dari benih kita. Padahal monster itulah yang merencanakan semua ini. Dia sungguh manipulatif, terutama dengan cara membuat kita haru dan bangga. Hadiah murah yang lebih tinggi apalagi yang bisa diberikan bagi semua orang? Orang kaya maupun miskin, pintar maupun pandir, sehat maupun sakit, sempurna ataupun cacat, otak kempal maupun mani encer, semua bisa merasa bangga dan haru.
Catatan ini kubuat atas permintaan adikku yang sedang berfikir tentang sex dan pernikahan, (dia lagi di jepang,berbenturan dengan adanya festival “menghilangkan keperawanan” di bulan Desember yang dia lihat disana tentu memerlukan kacamata warna beda dari kacamata yang biasa dipake di Indonesia yang “menjaga keperawanan”), tapi kupikir bukan hanya dia yang lagi mikir, beberapa teman kupikir juga sama confuse masalah ini, bagi yang mengenal bahwa masalah ini sebenarnya sederhana tapi dibikin ruwet ma hegemoni KAPITALISME (dalam tulisan Engels yang The Origin of Family, State and Private Property) mungkin agak ringan mikirnya, sedikit bersentuhan ma Freud dan Baudillard tentang paksaan pencitraan dan tulisan-tulisan sejenis akan sedikit membuka kepala, tapi bagi beberapa teman yang terbatas waktunya untuk membaca dan merenung tentu segala media/input yang tercerna hanya akan semakin membingungkan tentunya (dan yang paling panjang perenungannya tentu yang masih terpesona kata “cinta sejati” dalam kesempitan makna yang dibuat Hollywood dan Sinetron Indonesia)
Aku pribadi aku memilih untuk menyukai kata-kata pram yang “adalah bijak untuk menempatkan sesuatu itu ditengah-tengah”, bagiku sex bukanlah rendah karena dia dituduh sebagai jalan yang paling banyak menjatuhkan manusia ke neraka juga tak perlu dipandang sangat sakral seakan mesti ikut tatanan langit untuk melakukannya, bagiku sex itu MANUSIAWI aja, tak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan kecuali segi fisiologisnya saja, sebagaimana urusan makan, tak perlu beribet urusan table manner sok aristokrat pun tak perlu bergaya macam binatang makan hanya untuk menentang model raja-raja tadi, cukup dikembalikan pada fungsi awalnya saja, sederhana dan bersahaja untuk memenuhi kebutuhan tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain, menurutku se simple itu masalah sex ini, soal menikah? wah akan banyak pendapat disini (jika kutuliskan bahwa aku menginginkan dalam kepalaku tatanan masyarakat komunal modern dalam setiap aspek termasuk membedah sex dan pernikahan aku kuatir belum banyak orang yang bisa menerima (termasuk adikku sendiri??)
Nah San, ini pendapat Ayu Utami, aku dan teman-temanku, semoga dapat menjadi sebuah warna dalam kacamatamu, membantumu melihat (atau menahan??) kilaunya Negri Matahari Terbitmu…take care and see you..
*Penulis adalah Ketua Perpustakaan Bersama, Gresik.